Ketika masih banyak rahasia
burung cenderawasih belum terungkap, ketika perilaku-perilaku aneh
mereka masih menjadi misteri, kenyataan di lapangan menunjukkan jumlah
burung itu di habitat aselinya semakin menipis. Meski habitat
cenderawasih relatif sulit dijangkau manusia, tak berarti mereka bebas
dari sergapan para pemburu liar.
Berikut ini adalah liputan menarik wartawan Trubus yang memberikan
gambaran lebih jauh tentang kehidupan burung ini di pelosok Papua Barat
sana yang saat ini semakin menipis jumlahnya.
SINAR
matahari berupaya menerobos kanopi kayu hitam, kayu besi, keben, dan
nyamplung di Bukit Yenpapir, Provinsi Papua Barat. Pagi itu senyap.
Namun, tiba-tiba suasana riuh merobek keheningan pagi. Lima belas burung
cenderawasih merah Paradisaea rubra berkicau bersamaan. Mereka bertengger di kayu hitam Diospyros rumphii
pada ketinggian 20 meter di atas permukaan tanah. Lima betina itu
menyaksikan tarian 10 cenderawasih jantan yang memamerkan keelokan
tubuhnya.
Burung jantan berbulu merah dan memiliki ekor kawat yang mencolok.
Mereka menari sembari meloncat ke sana kemari. Sesekali pejantan itu
mengembangkan ekor atau sayap. Kedua sayap mengembang seolah membentuk
bulatan. Kepalanya lincah bergerak, kadang ke samping, mendongak, atau
ke bawah. Sembari menari para pejantan bertubuh besar, tinggi 33 cm, itu
juga terus berkicau di hadapan betina. “Wok… wak… wak…ka ka ka,” bunyi
kicauan bernada tinggi cenderawasih merah. Suara nyaring itu untuk mengumumkan kehadirannya dan menunjukkan dirinya.
Pagi itu para pejantan menari hampir 25 menit. Sosok cenderawasih
jantan memang mudah dikenali karena berbulu seronok. Bulu elok salah
satu modal pejantan cenderawasih menggaet betina. Ibarat pejantan
menjual tampang menawan. Peneliti burung dari Pusat Penelitian Biologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hidayat Ashari MSc
mengatakan, “Warna bulu menarik perhatian betina. Secara umum betina
akan memilih warna yang cantik, cerah, rapi, dan mencolok.” Sementara
sosok betina cenderawasih—terutama jenis poligami—tak seelok jantan.
Betina cenderung berwarna cokelat gelap, dada krem.
Menurut anggota staf Analis Keanekaragaman Hayati Bird Conservation, Hanom Bashari, sebagaimana dimuat Majalah Trubus, waktu yang tepat dan terbaik untuk menyaksikan display
alias tarian cenderawasih itu pukul 06.00—09.00. “Ketika pagi
jenis-jenis Paradiseae berdatangan dalam jumlah banyak untuk kegiatan display ketimbang sore hari,” kata alumnus Konservasi Sumberdaya Hutan Institut Pertanian Bogor itu.
Hanom mengatakan bahwa display berfungsi untuk menarik perhatian
betina. “Pada saat cuaca cerah banyak individu Paradiseae melakukan
kegiatan display pada satu pohon,” kata Hanom.
Hidayat Ashari mengatakan tujuan akhir display adalah kopulasi. Meski demikian, menurut Hanom, tak selamanya display diakhiri dengan proses kopulasi. Pagi itu, misalnya, usai menari selama hampir setengah jam, tak sepasang red bird of paradise pun yang berkopulasi. Suara burung pada saat display atau leking bukan hanya untuk “merayu” betina. Namun, suara itu sekaligus menandai area “kekuaasaan” pejantan.
Uniknya nyanyian saat display amat beragam tergantung waktu.
“Setiap burung cenderawasih memiliki berbagai macam tipe suara, untuk
pagi dan siang hari ada perbedaan. Bahkan jika dalam kondisi terancam,
cenderawasih mengeluarkan suara berbeda. Namun, yang menjadi pemikat
adalah tarian pejantan,” kata Hanom.
Perjalanan Panjang Melelahkan
Untuk menyaksikan tarian cenderawasih di habitat aslinya itu bukan
hal gampang. Wartawan Trubus menempuh perjalanan panjang Jakarta—Sorong
selama 6 jam. Perjalanan berlanjut ke Pulau Waigeo,
Kabupaten Rajaampat, Papua Barat, dengan kapal cepat selama 2,5 jam.
Waktu tempuh ideal sebetulnya hanya 1 jam, tetapi gelombang laut Teluk
Kabui relatif tinggi dan angin kencang merintangi laju kapal terdiri
atas dua lantai itu. Akibatnya waktu tempuh molor, 1,5 jam lebih lama.
Kapal itu akhirnya selamat tiba di Pelabuhan Waisai, Rajaampat, pukul
16.30.
Keesokan pagi, anggota staf Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA)
Provinsi Papua Barat, Muhammad Wahyudi SHut, dan pemandu Orgenes Dimara
menemani Trubus ke Bukit Yenpapir. Perjalanan sepanjang 25 km itu amat
menyenangkan. Udara sejuk berembus. Apalagi setelah Wahyudi memarkir
mobil dan kami berjalan kaki menuju puggung bukit. Sembari menapaki
punggung bukit yang menanjak, kami menyaksikan beberapa burung paruh
bengkok seperti kakaktua jambul kuning dan bayan berterbangan.
Orgenes (46) memandu mereka menuju lokasi pengamatan cenderawasih.
Jalan setapak itu tak selebat bagian lain hutan Yanpapir. Tak lama
kemudian terdengar suara burung serak seperti gagak, tetapi lebih
menyeramkan. Asal suara itu ternyata burung besar seukuran 56 cm,
berwarna pucat, dan bermata merah. Karakalo asutralia Scythrops novaehollandiae—nama
burung itu—tengah bertengger di cabang pohon kayu hitam. Setengah jam
berjalan kaki cukup menguras tenaga karena jalanan menanjak dengan
kemiringan 45 derajat.
Di suatu tempat Orgenes berhenti. Ia menunjuk sebuah saung sederhana
terbuat dari ranting dan dedaunan kering. Ukuran saung itu hanya pas
untuk pengamatan 2 orang. Di sebuah dinding terdapat celah yang pas
untuk memasang lensa kamera sepanjang 400 mm. Pemandu cenderawasih sejak
2012 itu berpesan agar selama pengamatan tenang dan tidak berisik.
Harap mafhum, burung anggota famili Paradisaeidae
itu memang sensitif. Mendengar ranting patah akibat injakan kaki bisa
jadi ia akan kabur. Dua puluh menit menanti, akhirnya seekor pejantan
hinggap di ranting kayu hitam.
Tak lama berselang betina datang. Burung-burung cenderawasih
lain—baik jantan maupun betina—datang menyusul dengan jeda hanya
beberapa detik. Tujuh pasang cenderawasih itu datang dari berbagai
penjuru angin. Prediksi Orgenes tepat bahwa cenderawasih melakukan display di pohon anggota famili Ebenaceae itu. Sebab, cenderawasih memang selalu melakukan display di sebuah pohon.
“Pohon display digunakan secara terus-menerus. Burung bisa saja berpindah jika pohon itu tumbang atau ditebang,” kata Hanom.
Menurut Wahyudi jenis pohon untuk bermain cenderawasih di Papua antara lain kayu besi Instia bijuga, pala Palaquim amboinensis, beringin Ficus benjamina, dan jambu hutan Eugenia sp.
Di pohon-pohon itulah cenderawasih menari. Betapa menakjubkan melihat
burung cenderawasih di rimba raya berketinggian 100 meter di atas
permukaan laut. Degup jantung berpacu kian cepat menyaksikan pesona
burung molek itu. Orgenes mengatakan bahwa sebagian warga Papua hingga
kini belum pernah melihat burung cenderawasih. Mereka tidak mengetahui
sosok burung itu.
Usai menyaksikan tarian cenderwasih merah, Orgenes mengajak kami ke
Cagar Alam Waigeo Barat berjarak kira-kira 200 meter dari lokasi
pengamatan pertama. Menteri Kehutanan pada 25 November 1996 menetapkan
kawasan 95.200 ha itu sebagai cagar alam. Ketika tiba di lokasi itu,
Wahyudi memetik beberapa daun kayu hitam segar dan menghamburkan di atas
tanah lapang seluas meja pingpong. Wahyudi mengatakan penebaran daun
untuk memancing burung agar turun di lokasi bermain.
Kami menjauh, belasan meter dari lokasi itu, bersembunyi, dan
menantikan kedatangan cenderawasih. Suara kicauan cenderawasih perlahan
mulai terdengar di kesunyian hutan. Setelah menunggu 30 menit, akhirnya
burung turun dan mendektai arena bermain. Warna biru cerah menghiasi kepala burung
mungil itu. Sementara kedua sayap dan punggung berwarna merah terang.
Adapun dua helai ekor yang melingkar bak sungut itu berwarna hijau tua.
Kombinasi warna yang kontras.
Itulah sosok cenderawasih botak Cicinnurus respublica alias Diphyllodes respublica.
Sebutan botak mengacu pada kulit biru gundul pada puncak kepala baik
jantan maupun betina. Sosok cenderwasih botak mirip cenderwasih raja Cicinnurus regius.
Ahli burung asal Inggris, Edward Wilson, yang pertama kali
mendeskripsikan burung mini berukuran 17 cm. Oleh karena itu
cenderawasih botak acap disebut wilson’s bird of paradise. Burung itu meloncat ke sana kemari dari batang, akar, dan anakan pohon kayu hitam.
Ia lantas turun ke area bermain, memungut satu per satu daun yang
berserakan dengan paruh, dan membuangnya. Di area bermain itu tak
sehelai daun pun tersisa. Pembersihan lantai hutan itu bukan tanpa
maksud. “Tujuan cenderawasih botak melakukan pembersihan arena bermain
untuk menarik perhatian betina. Itu memang ciri dan karakter cendrawasih
botak,” ujar guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,
Prof Dr Ir Ani Mardiastusti MSc.
Hidayat Ashari mengatakan bahwa penggunaan strata ruang pada suatu
pohon belum diketahui secara pasti. Namun, cenderawasih merah biasa
melakukan display di kanopi pohon, sedangkan cendrawasih botak di
lantai hutan. Begitu juga penyebaran burung. Cenderawasih botak di
Waigeo dan Batanta cenderung menghuni di hutan dataran rendah
berketinggian lebih dari 300 meter di atas permukaan laut. Adapun
cenderawasih merah di ketinggian 0—600 meter di atas permukaan laut.
Jika lokasi display terganggu maka burung pindah, tetapi tidak
jauh dari lokasi awal. Setelah area itu bersih, barulah burung
melangsungkan ritual tariannya. Sayang hingga pejantan rampung menari,
betina tak kunjung datang. Pejantan itu akhirnya terbang mencari pakan.
Ani Mardiastuti mengatakan bahwa berdasarkan paruh, cenderawasih
termasuk pemakan buah dan biji alias frugivora. Doktor Wildlife
Management alumnus Michigan State University itu mengatakan musim kawin
lazimnya berkaitan dengan ketersediaan pakan di alam.
“Musim kawin ketika musim buah atau pakan sedang berlimpah, biasanya
pada musim hujan,” kata Ani. Namun, karena musim buah saat ini
berubah-ubah menyebabkan pergeseran musim berbiak. Cenderawasih merah
dan cenderawasih botak hanya dua dari 43 spesies di dunia. Dari jumlah
itu 34 jenis di antaranya menghuni hutan-hutan Papua. Beberapa jenis
lain adalah cenderawasih panji Pteridophora alberti, kaisar Paradisaea guilelmi, dan biru P rudolphi. Burung-burung dari surga itu itu termasuk dalam famili Paradisaeidae.
Makin sulit ditemukan
Sebutan burung dari surga mengacu pada sosok cenderawasih yang
berbulu indah. Itu saja belum cukup. Dewi M Prawiradilaga dalam
Ensiklopedi Nasional Indonesia menyebutkan bahwa burung jantan
dilengkapi pial berwarna, bulu berlapis, dan sepasang bulu panjang
seperti lidi di kepala atau ekor. Hiasan yang tumbuh ketika burung
berumur 2 – 5 tahun itu untuk memperindah penampilan ketika pejantan
menari. Sayangnya keindahan burung firdaus itu terancam.
Petugas BKSDA Papua Barat Dwi Suryana SHut, mengatakan pada 1990-an
Taman Wisata Alam Sorong, Papua Barat, masih menjadi habitat
cenderawasih merah. Namun, pada akhir September 2013 seharian Trubus
mengelilingi hutan seluas 945 ha itu tak menjumpai seekor pun
cenderawasih. Suryana mengatakan merosotnya populasi cenderawasih antara
lain karena perburuan. Ternyata bukan hanya betina yang tertarik pada
tarian maut atau penampilan pejantan cenderawasih. Para pemburu pun
demikian.
Rekan Suryana, Alfa Sandy Aprazah SHut melakukan pengamatan pada Juli
2013 di Caga Alam Waigeo Barat. Ia rata-rata menemukan 8 cenderawasih
Paradisaea minor per hari selama survei yang berlangsung 5 hari. Akankah
suara melengking, tarian maut, dan keelokan cenderawasih itu tinggal
cerita? (Sardi Duryatmo/Peliput: Muhamad Cahadiyat Kurniawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar